Dari Ujung Kota

Dari Ujung Kota
Ilustrasi (Foto: Net)

APAKAH pengertian ‘ujung kota’ (aqsha al-madinah)? Apakah ia berarti daerah pinggiran kota di mana masyarakat kelas sosial menengah ke bawah umumnya bermukim? Mengapa justru yang datang bergegas dari ujung kota itu disifati sebagai lelaki sejati, dalam pengertian memiliki keberanian, kejantanan dan maskulinitas?

Kelelakian (rujuliyah) di sini bukan semata dalam artian biologis (biological man) akan tetapi mentalitas lelaki sejati.

Tentang seorang lelaki yang datang bergegas dari ujung kota, di antaranya tersebut di dalam Al-Qur’an Surat Yasin (36): 20 dan Surat Al-Qasas (28): 20. Dalam Tafsir Ibnu Katsir, salah satu tafsir paling otoritatif dalam ilmu pengetahuan Islam, disebutkan bahwa lelaki dalam surat Yasin itu bernama Habib.

Habib bukanlah sosok pria tampan dan kaya sebagaimana yang sering tampil dalam adegan-adegan sinetron. Justru ia seorang lelaki yang kecil pendek, penyakitan, dengan profesi sebagai tukang kayu. Ada yang bilang dia menekuni profesi tukang sepatu. Akan tetapi mengapa lelaki ini justru yang menyandang sifat kejantanan selaku pria sejati?

Habib datang dari ujung kota. Mufassir ada yang mengomentari bahwa hal itu menunjukkan adanya keutamaan kelompok yang tinggal di ujung kota daripada yang di tengah kota. Bahwa keimanan dipelopori oleh orang-orang lemah. Mereka tinggal di kota yang terjauh atau di ujung kota. Sedangkan mereka yang makmur dan berkuasa umumnya tinggal di ‘tengah’ kota.

Habib hanyalah tukang. Dikatakan bahwa dia ini suka bersedekah dengan separo hasil pekerjaannya selaku tukang. Dan, tukang hanyalah profesi yang lenyap dalam sejarah. Sejarah mencatat nama-nama seniman, ilmuwan, pemikir, panglima, arsitek, tokoh politik, pengusaha sukses, orang kaya, tetapi tidak mencatat nama-nama tukang. Sejarah hanya mencatat karya-karya para tukang itu. Dan semacam Habib adalah bagian dari massa yang hilang andai aksinya tidak diabadikan Allah dalam kitab suci.

Menarik bahwa penduduk yang dituju Habib, sang lelaki dari ‘ujung kota’ itu disebut dengan lafal ‘ashabul qaryah’ atau penduduk kampung (Surat Yasin (36): 13). Dalam bahasa Indonesia ‘qaryah’ bisa diterjemahkan dengan kata-kata: negeri, kampung, desa atau kota kecil.

Habib datang dari ujung kota (Madinah) tetapi ia menyeru ‘orang-orang kampung’ (ashabul qaryah) bukan ‘penduduk kota’ (ahlul madinah). Dengan penggunaan lafal ‘qaryah’ itu seakan Al-Qur’an mereduksi unsur ‘keadaban’ yang ada pada penduduk kampung itu dan menguatkan unsur keadaban pada diri Habib.

Ashabul qaryah menolak tiga orang rasul yang diutus kepada mereka, sedangkan Habib beriman kepada mereka. Penduduk negeri itu disifati dengan ‘kampung’ dan ‘desa’ sedangkan Habib dinisbatkan kepada kota, meski kota yang paling pinggir dan kota yang paling jauh.

“Wahai kaumku! Ikutilah para rasul itu! Ikutilah orang yang tidak meminta imbalan kepadamu sedangkan mereka mendapatkan petunjuk.” (Surat Yasin (36): 20-21)

Para nabi adalah manusia-manusia rupawan dengan postur yang menawan. Lebih tinggi dari kebanyakan orang. Paling jarang terkena penyakit. Nabi Musa misalnya adalah seorang pria yang berkulit putih mulus dan bertenaga sangat kuat. Peristiwa pemukulan orang Koptik hingga tewas dan bagaimana ia mengangkat batu penutup sumber air di Madyan menunjukkan keperkasaannya selaku pria. Batu penutup itu semestinya hanya bisa digeser oleh 10 orang.

Habib dalam kisah Surat Yasin itu bukanlah bandingan Musa. Dia hanya ‘rajul’ dengan sifat ‘rujuliyah’. Meski secara fisik tidak ideal, dari segi ekonomi tidak berkelimpahan namun kesalehan dan patrotismenya membela para utusan Allah membuat namanya abadi dalam kitab suci.

Adapun yang mengingatkan Musa dalam rangka menolongnya adalah pria yang disebut dalam Surat Al-Qasas ayat ke-20, “Dan seorang laki-laki datang bergegas dari ujung kota seraya berkata, ‘Wahai Musa! Sesungguhnya para pembesar negeri sedang berunding tentang engkau untuk membunuhmu, maka keluarlah (dari kota ini), sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang memberi nasihat kepadamu.”

Ibnu Katsir tidak memberi informasi tentang nama pria ini. Ia menyebut bahwa pria ini datang dengan mengambil jalan pintas, hingga ia sampai kepada Musa lebih dulu dari sejumlah orang di belakangnya yang diutus kerajaan untuk membunuh Musa.

Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ibnu Juraij bahwa orang ini adalah lelaki yang menyembunyikan keimanannya dari kalangan kerabat Firaun. Dia orang Koptik, dari suku bangsanya Firaun, bukan keturunan Israil. Namun sayangnya riwayat Ibnu Abi Hatim ini lemah.

“Dan seorang laki-laki beriman di antara keluarga Fir’aun yang menyembunyikan imannya berkata, ‘Apakah kamu akan membunuh seorang laki-laki karena dia mengucapkan, ‘Tuhanku adalah Allah,’ padahal sungguh, dia telah datang kepadamu dengan membawa bukti-bukti yang nyata dari Tuhanmu. Dan jika dia seorang pendusta maka dialah yang akan menanggung dustanya itu namun jika dia seorang yang benar, niscaya sebagian (bencana) yang diancamkannya kepadamu akan menimpamu. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang yang melampaui batas dan pendusta.” (Surat Ghafir (40):28)

Kerabat Firaun ini terpaksa menyembunyikan imannya karena kebengisan Firaun. Hanya dia dan Asiah, istri Firaun, yang beriman kepada Musa.

Berkat nasihatnya itu Musa segera pergi menyelamatkan diri keluar dari kota, menuju Madyan yang letaknya di daerah Palestina. Jauh dari jangkauan dan kekuasaan Firaun.

 

Wallahu a’lam.

Penulis : Deny Firmansyah

Editor : Redaksi

Kabar Serupa :
Abnormalitas Kota yang Digusur
Kabar Opini

Abnormalitas Kota yang Digusur

23.11.2022 - 20:23
Peluang Sosial Komuter Dari Pinggir Ke Pinggir
Kabar Opini

Peluang Sosial Komuter Dari Pinggir Ke Pinggir

20.11.2022 - 14:00
Apa Artinya Efikasi Vaksin Sinovac 65,3 Persen?
Kabar Opini

Apa Artinya Efikasi Vaksin Sinovac 65,3 Persen?

12.01.2021 - 13:24
Eksistensi Pendidikan Ala Pesantren
Kabar Opini

Eksistensi Pendidikan Ala Pesantren

06.05.2020 - 11:25
Cek Fakta
CEK FAKTA LAINNYA