Tragedy Heysel, Memantik Terjadinya Reformasi Sepak Bola Inggris

Tragedy Heysel, Memantik Terjadinya Reformasi Sepak Bola Inggris
Tragedy Heysel. (Foto: AFP)

SEANDAINYA Patrick Radcliffe tidak datang ke Stadion Heysel malam itu, mungkin kini dia sedang berada di atas rumahnya di dekat danau pada sore yang sumir. Duduk santai menyesapi semilir angin di atas kursi goyang yang sebagian cat putihnya mulai terkelupas di sana-sini.

Melamun kesunyian tentang hari tua sambil sesekali menertawakan kenangan konyol yang dia lakukan di masa muda.

Namun, takdir punya jalan sendiri. Pada 29 Mei 1985 dalam partai final Liga Champions yang mempertemukan Liverpool dan Juventus, dia tewas bersama 39 korban lainnya akibat kerusuhan antar suporter. Insiden memilukan ini dinamakan sesuai dengan tempat kejadian, Tragedi Heysel.

Saat itu, Radcliffe berusia 37 tahun. Dia berasal dari Belfast, Irlandia Utara. Setelah lulus kuliah dari Campbell College dan Oxford University, Radcliffe bekerja sebentar di Kantor Arsip Publik (Public Record Office) di Irlandia Utara. Dia kemudian menikahi seorang perempuan Inggris dan menetap di Carlisle selama beberapa tahun.

Dia Inggris, ia bekerja sebagai pengarsip senior di Cumbria County Council. Sejak 1980, Radcliffe dan istrinya pindah ke Hoeliaart, salah satu kawasan sub urban Brussel. Dia bekerja kembali sebagai pengarsip di European Economic Community.

Radcliffe bukan penggemar sepakbola, bahkan jika hal tersebut diartikan sekadar tahu seberapa terkenalnya Real Madrid di muka bumi ini. Karenanya adalah aneh ketika dia memutuskan untuk menonton langsung final Liga Champions, berdesakan bersama sekitar 60.000 penonton di Stadion Heysel. Demikianlah yang juga dirasakan George, saudara kembar Radcliffe.

Kepada Belfast Telegraph 2015 lalu, George mengatakan Patrick bukan penggemar sepakbola. Katanya, saudara kembarnya itu pergi bersama temannya dari Belanda untuk menonton final tersebut. “Tapi dia bukan seorang penggemar sepak bola,” kata Geroge.

George mengetahui terjadinya kerusuhan di Heysel melalui siaran langsung di televisi. Tapi saat itu ia tak menyadari jika saudara kembarnya berada di sana dan terjebak dalam situasi hidup dan mati. Hingga kemudian istri Radcliffe meneleponnya tak lama berselang dan memberi tahu kabar pahit, Radcliffe tewas dalam kejadian tersebut.

“Kabar itu sangat mengejutkan, seperti pukulan telak. Istrinya memberitahukan bahwa Radcliffe berada di sana. Itu membuat saya kaget. Saya tahu di pertandingan tersebut ada masalah saat melihat berita, tapi saya tak menyangka Patrick ada di sana,” ungkap George.

George hingga kini masih tinggal di Belfast. Dan jika kelahirannya sama dengan saudara kembarnya, berarti sekarang George sudah berusia 70. “Dia adalah teman baikku,” kenang George. “Dia hanya berada di waktu dan tempat yang salah,” ucapnya lagi.

39 Orang Meregang Nyawa

Kerusuhan antar suporter di Stadion Heysel sudah terjadi sekitar satu jam sebelum kick off. Beberapa saksi mata mengatakan, kerusuhan dimulai ketika tifosi Juventus melempari suporter Liverpool. Tak terima diperlakukan seperti itu, Kopites Liverpool ganti menyerang.

Dengan jumlah yang jauh lebih banyak, serangan Kopites ke tifosi Juventuas berlangsung lebih brutal. Terutama setelah mereka merusak pagar pembatas di tribun.

Merasa terdesak, tifosi Juventus berusaha mundur, namun terhalang tembok besar di belakangnya. Mereka pun berhimpitan menahan serangan membabibuta Kopites.

Tembok itu akhirnya runtuh karena tak kuasa menahan beban banyaknya massa yang berdesakan. 600 orang mengalami luka-luka, 39 orang tewas tertimpa reruntuhan. 32 di antaranya suporter Juventus, sementara tujuh orang lain adalah pendukung netral, yakni 4 orang Belgia, 2 orang Perancis, dan seorang dari Irlandia Utara.

Tifosi Juventus di tribun lain berusaha melakukan pembalasan dengan berupaya merangsek ke area reruntuhan untuk membalas serangan. Tapi pihak keamanan sudah mengamankan area tersebut. Situasi pun makin tak terkendali karena kini ada tiga pihak yang saling serang yakni tifosi Juventus, Kopites Liverpool, dan barisan aparat. Nyaris dua jam lebih pertikaian ini berlangsung sebelum akhirnya berhenti.

Di lapangan, laga sempat dihentikan sesaat. Tapi demi meredam kisruh, kedua pihak sepakat untuk kembali melanjutkannya. Juventus berhasil memenangkan laga lewat sepakan penalti Michel Platini. Keinginan The Reds untuk mempertahankan gelar juara pun mesti sirna.

Usai peluit panjang dibunyikan, suporter Juventus berhamburan ke lapangan merayakan kemenangan timnya seolah-olah tak ada kejadian apapun sebelumnya.

CEO Liverpool kala itu, Peter Robinson, mengutuk kekerasan yang terjadi dalam Tragedy Heysel, sekaligus mengkritik standar keamanan stadion tersebut. Hal yang sama juga diungkapkan chairman John Smith sehari setelah laga usai.

“Tempat itu tak layak bahkan untuk laga biasa, apalagi sebuah final,” ucap John Smith.

Pada hari yang sama, UEFA melalui penyidik resmi mereka, Gunter Schneider, turut membuat pernyataan. “Suporter dari Inggris yang bertanggung atas insiden ini. Tak ada keraguan,” tegas Gunter.

Perdana Menteri Inggris Margaret Thatcher merespons pernyataan tersebut dan mendesak agar tim-tim Inggris dilarang tampil di Eropa. Pada 2 Juni 1985 UEFA mengeluarkan larangan bertanding untuk seluruh klub Inggris dalam jangka waktu yang tak ditentukan. Dan, pada 6 Juni, FIFA menambah hukuman tersebut menjadi larangan bertanding di seluruh dunia. Hingga akhirnya dalam ralat terakhir diputuskan kecuali laga persahabatan, tim-tim Inggris dilarang bertanding selama lima tahun. Khusus Liverpool, enam tahun.

Untuk mencari tahu siapa saja biang keladi dalam insiden tersebut, kepolisian Inggris turut melakukan penyelidikan. Sebuah film berdurasi 17 menit, berlembar-lembar foto, dan sekian puluh narasumber menjadi rujukan mereka dalam mencari informasi. Hasilnya, 27 orang ditahan dengan tuduhan penganiayaan dan pembunuhan. 14 dari mereka yang merupakan suporter Liverpool dan juga bromocorah langganan keluar-masuk bui, dipidana hukuman kurung selama tiga tahun.

Dua puluh tahun setelahnya, dalam laga perempat final Liga Champions 2004/2005, Liverpool dan Juventus kembali bertemu. Saat laga pertama di Anfield, The Kop menampilkan koreografi mosaik di tribun yang bertuliskan ‘Amicizia’ yang artinya persahabatan, sebagai bentuk permohonan maaf kepada tifosi Juventus.

Sebagian besar tifosi merespons positif, tapi ada pula yang memilih membalikkan badan. Tragedy Heysel kemudian ikut menjadi pemantik reformasi penyelenggaraan dan keamanan dalam pertandingan sepak bola, terutama yang berkaitan dengan suporter. Ketika Tragedi Hillsborough terjadi pada 15 April 1989 dan menewaskan 97 korban jiwa, maka reformasi sepak bola di Inggris dilakukan secara besar-besaran. Salah satu yang paling penting membuat stadion menjadi all-seated.

Penulis : Redaksi

Editor : Adi S

Cek Fakta
CEK FAKTA LAINNYA