KabarJakarta.com - Perang opini antara Partai Demokrat Indonesia Perjuangan (PDIP) dengan Partai Demokrat (PD) dalam beberapa terakhir ini menambah panjang daftar perseteruan antar dua partai politik tersebut. Mereka saling lempar sindiran.
Partai Demokrat sudah hampir 10 tahun konsisten berada di luar pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang merupakan kader PDIP. Sebelumnya, sikap serupa dilakukan PDIP ketika pendiri Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjabat sebagai Presiden RI selama dua periode, 2004 hingga 2014.
Beberapa terakhir ini, sejumlah rentetan serangan dilancarkan Partai Demokrat ke PDIP dan juga Istana Negara, dalam hal ini pemerintahan Jokowi.
Keributan dipicu pernyataan Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat Suslo Bambang Yudhoyono (SBY) soal dugaan Pemilu 2024 akan dilaksanakan tidak jujur dan tidak adil. Serangan itu berlanjut hingga dugaan muatan politik atas penetapan tersangka Gubernur Papua yang merupakan kader Demokrat Lukas Enembe.
Berikut rangkaian serangan Partai Demokrat ke PDIP dan Presiden Jokowi:
Pemilu 2024 Curang
Saat berpidato di acara Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) Partai Demokrat, Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengaku terpaksa “turun gunung” untuk menyampaikan informasi kepada publik dan untuk disebarkan seluas-luasnya. Informasinya adalah, SBY menduga, Pemilu 2024 mendatang akan diselenggarakan dengan ketidakjujuran dan tidak adil. SBY mengklaim dirinya mempunyai informasi terkait dugaan rekayasa tersebut.
“Para kader, mengapa saya harus turun gunung menghadapi Pemilihan Umum 2024 mendatang? Saya mendengar, mengetahui, bahwa ada tanda-tanda Pemilu 2024 bisa tidak jujur dan tidak adil,” kata SBY saat berpidato di acara Rapimnas Partai Demokrat, Kamis (15/9/2022).
Video pidato SBY itu kemudian diunggah di akun Instagram DPD Partai Demokrat Sumatera Utara, @pdemokrat.sumut, dan viral.
Di video itu juga, SBY menyebutkan bahwa berdasarkan informasi yang ia terima, Pilpres 2024 mendatang akan diatur sehingga hanya diikuti oleh dua pasangan calon presiden dan wakil presiden saja.
Sontak, pernyataan SBY itu direspon oleh Sekjen PDIP Hasto Kristayanto yang menuding balik justru Pemilu 2009 yang digelar di masa SBY menjadi presiden justru sarat kecurangan.
“Mohon maaf pak SBY tidak bijak. Dalam catatan kualitas pemilu, tahun 2009 justru menjadi puncak kecurangan yang terjadi dalam sejarah demokrasi Indonesia,” ucap Hasto, Sabtu (17/9/2022).
Dia meminta SBY untuk bertanggung jawab atas kecurangan yang terjadi karena saat itu merupakan periode kepemimpinannya. Lanjut dia, pada era kepemimpinan SBY ditemukan manipulasi Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang bersifat masif.
“Salah satu buktinya ada di Pacitan, Jawa Timur,” ungkap Hasto. “Ada yang bisa menunjukan berbagai skema kecurangan pada saat Pemilu 2009 kalau memang mau didalami lagi,” lanjutnya.
Singgung Harun Masiku
Serangan Demokrat terhadap PDIP tidak berhenti. Kepala Badan Komunikasi Strategis DPP Partai Demokrat Herzaky Mahendra Putra menyinggung soal kasus korupsi yang melibatkan salah satu Komisioner KPU Wahyu Setiawan pada 2019. Herzaky mengatakan, dalam kasus itu, ada keterlibatan kader PDIP Harun Masiku.
“Kan salah satu pelakunya kader partainya Bang Hasto, Harun Masiku, yang sudah buron 1.000 hari lebih. Tidak ada cerita seperti itu di Pemilu 2009,” kata Herzaky, Minggu (18/9/2022).
Komentar itu disampaikan Herzaky di tengah isu dugaan kecurangan Pemilu 2024 yang dilontarkan SBY.
Merespons singgungan Herzaky, Hasto mengajak Partai Demokrat untuk menyampaikan data penelitian guna mengungkap adanya dugaan pengaturan Pemilu 2024 serta penjegalan pasangan tertentu. Hasto mengatakan, hal tersebut lebih baik ketimbang mengungkit masalah lain yang tidak ada hubungannya, misalnya soal kasus Harun Masiku.
“Di situ kami sampaikan fakta-fakta termasuk penelitian dari Marcus Mietzner. Jadi jawabannya, Partai Demokrat seharusnya adalah bagaimana meng-counter fakta-fakta itu. Bukan dengan Harun Masiku,” kata Hasto di Sekolah Partai, Lenteng Agung, Jakarta, Rabu (21/9/2022).
Politisasi kasus Lukas Enembe
Teranyar, ketika Gubernur Papua Lukas Enembe yang tidak kunjung memenuhi panggilan KPK, Partai Demokrat menuding pihak yang disebut sebagai “elemen negara”. Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) curiga ada muatan politik dalam pengusutan perkara yang menjerat Lukas Enembe.
“Kami melakukan penelaahan secara cermat, apakah dugaan kasus Pak Lukas murni soal hukum, atau ada pula muatan politiknya,” kata AHY saat konferensi pers di kantor DPP Partai Demokrat Jalan Proklamasi, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (29/9/2022).
Ia menilai, ada dua peristiwa yang menjadi latar belakang kecurigaan tersebut. Pertama, pada tahun 2017 ada intervensi dari elemen negara pada Lukas Enembe untuk mengajukan kandidat tertentu sebagai calon Wakil Gubernur Papua pada Pilkada 2018.
“Ketika itu Pak Lukas diancam untuk dikasuskan secara hukum apabila permintaan pihak elemen negara tersebut tidak dipenuhi,” sebut AHY. “Alhamdulilah atas kerja keras Partai Demokrat, intervensi yang tidak semestinya itu, tidak terjadi,” ucap AHY.
Kedua, lanjut AHY, upaya itu muncul kembali pada 2021 setelah Wakil Gubernur Papua Klemen Tinal meninggal dunia. “Saat itu pun Partai Demokrat kembali melakukan pembelaan secara politik terhadap Pak Lukas,” ungkap dia.
AHY pun menolak berbagai upaya yang dilakukan pihak tersebut guna mengisi jabatan Wakil Gubernur Papua.
Peluang koalisi
Di tengah dinamika tersebut, muncul ragam pertanyaan apakah kedua partai yang kerap berseberangan ini bisa bersatu. Apalagi, PDIP dan Partai Demokrat sama-sama belum bergabung dalam poros koalisi manapun jelang Pemilu 2024.
Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah menjelaskan, dalam politik, semua akan berjalan dinamis. Begitu juga kemungkinan Demokrat dan PDIP bersatu, hal itu tetap bisa terjadi.
Apabila kedua partai kini bersitegang, hal itu lumrah lantaran keduanya berada di gerbong berbeda.
“Tetapi politik tetap saja dinamis, meskipun seolah bersitegang tetapi momentum tertentu keduanya akan bertemu juga,” kata Dedi, Sabtu (1/10/2022).
Ia menyoroti situasi internal PDI-P yang dinilai riuh akibat manuver Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo sebagai calon presiden (capres).
“Mungkin saja koalisi PDIP Demokrat. Meskipun mampu mengusung capres cawapres sendiri, keriuhan yang terjadi di PDIP karena manuver Ganjar Pranowo yang disinyalir tidak patuh, ini bisa merugikan PDIP,” kata Dedi.
Dedi menjelaskan, jika Demokrat berhasil diajak berkoalisi, maka bisa membantu PDIP untuk menghilangkan potensi lawan berat yang bisa dimunculkan partai besutan SBY itu. Artinya, lanjut Dedi, ada dua hal yang diharapkan PDIP pada Demokrat.
“Meredam Demokrat agar tidak usung calon sendiri, dan memperkuat mesin partai jikalau terjadi pengkhianat kader PDIP yaitu Ganjar Pranowo,” ujarnya.
Meski demikian, Dedi lebih melihat konflik antara kedua partai ini lebih merupakan sebua propaganda yang tengah dilakukan Partai Demokrat. Dia melihat Demokrat sengaja menyasar PDIP karena faktor partai utama penguasa dan memiliki cukup banyak pihak penolak.
“Sehingga Partai Demokrat berpeluang mendapat simpati sebagai oposisi,” ucap Dedi.
Sebaliknya, lanjut Dedi, PDIP juga dalam rangka memperkuat konsolidasi dengan menempatkan Partai Demokrat sebagai lawan. Oleh karena itu, Dedi beranggapan bahwa konflik opini yang belakangan terjadi antara Demokrat dan PDIP adalah murni propaganda.
“Menempatkan Partai Demokrat sebagai lawan, PDIP bisa saja solid mengingat Partai Demokrat adalah partai penguasa sebelumnya. Jadi, ini murni propaganda,” pungkasnya.
Penulis : Sofyan
Editor : Adi S